Perbuatan Penentu Kehidupan

Minggu, 19 Nov 2017

"Gāravo ca nivāto ca, Santuṭṭhῑ ca kataññutā
Kālena dhammassavanaṁ, Etammangalamuttamaṁ
Memiliki rasa hormat, rendah hati
Merasa puas dengan yang dimiliki, ingat budi baik orang
Mendengarkan Dhamma pada waktu yang sesuai
Itulah berkah utama."
(Maṅgala sutta)

Dalam berkehidupan, manusia tidak dapat menjalani kehidupannya sendiri, namun berkehidupan bersama keluarga, masyarakat dan makhluk hidup lainnya. Semua makhluk hidup tentu menginginkan kehidupan yang harmonis dan bahagia, namun seringnya harapan dan kenyataan tidak berbanding lurus. Berkeinginan untuk hidup bahagia tetapi bukanlah kebahagiaan yang diperoleh, namun penderitaan. Disinilah kita memerlukan pemahaman Dhamma agar kehidupan kita dapat senantiasa diwarnai dengan kebahagiaan dan rasa syukur.

Kebahagiaan dan penderitaan, kemalangan dan kemujuran merupakan dualisme kehidupan yang telah menjadi corak kehidupan ini. Tanpa pemahaman yang baik dan jelas manusia dapat menjadi salah paham dan menyalahkan pihak lain, dan faktor luar lainnya. Tetapi bagi kita yang memahami Dhamma dan hukum kamma-vipāka (sebab akibat) tentu menjadi jelas bahwa perbuatan adalah penentu nasib kehidupan kita. 

Bagaimana manusia bisa memperoleh kemujuran? Bagaimana manusia bisa tertimpa musibah dan kenaasan? Tentu ini disebabkan oleh pikiran, ucapan serta perbuatan jasmaninya sendiri. Sang Buddha mengajarkan kepada kita bahwa pikiran, ucapan dan perbuatan yang disertai kebaikan akan membawa kebahagiaan, begitu pula sebaliknya. Apapun yang dilakukan oleh diri kita sendiri disertai kesengajaan akan menjadi akibat dan buah di masa depan persis seperti jejak roda pedati yang selalu mengikuti roda gerobaknya. 

Keburukan seperti senang menyiksa makhluk lain, mengambil barang yang tidak diberikan, berselingkuh, mengucapkan ucapan-ucapan yang menimbulkan konflik dan kerugian, serta mengkonsumsi zat yang menyebabkan kehilangan kesadaran akan menjadi bibit dari kehidupan yang penuh kesengsaraan. Keburukan-keburukan demikian sering kita jumpai langsung mengakibatkan penderitaan seperti dipenjara oleh hukum negara, dikucilkan keluarga, tidak dipercayai masyarakat, ekonomi menjadi buruk, bahkan dihajar massa. Tetapi, penderitaan yang langsung dirasakan di kehidupan ini sesungguhnya sangat kecil dibandingkan penderitaan yang masih harus dijalankan di kehidupan-kehidupan yang akan datang ketika buah-buah kejahatan itu berbuah. Seseorang bisa terlahir di alam neraka, binatang atau peta, ia bisa terlahir menjadi binatang atau manusia yang cacat, lebih menyengsarakan lagi ialah tidak memiliki kesempatan untuk memahami Dhamma guna keluar dari lingkaran kehidupan samsara ini.  

Memahami hukum perbuatan ini, selayaknya kita semua berhati-hati dalam berbuat dan berusaha sebaik mungkin dalam hidup ini menghindari semua sebab-sebab penderitaan. Kita tidak hanya pasif dalam kehidupan, dalam artian hanya hati-hati dalam berbuat namun kita secara aktif mengkondisikan sebab-sebab baik atau karma baik agar kehidupan kita semakin baik. Sang Buddha mengibaratkan karma buruk seperti halnya batu garam dan karma baik seperti halnya air, apabila seseorang memiliki karma buruk yang banyak dan karma baik yang sedikit maka persis diibaratkan meminum segelas air yang mengandung larutan segenggam batu garam dan rasanya amat asin. Tetapi, apabila memiliki banyak karma baik maka ini diibaratkan air sungai yang dilemparkan segenggam batu garam yang walaupun tetaplah garam itu larut dan mengasini air sungai namun sungai tetaplah berasa tawar karena jumlah airnya yang besar. Orang-orang yang memiliki kebajikan yang amat banyak ketika buah dari karma buruk matang maka penderitaan yang muncul pun tidak terasa berat.  

Guru agung Buddha Gotama menyatakan “sesuai dengan benih yang telah ditaburkan,begitulah buah yang akan dipetiknya,.pembuat kebaikan akan mendapat kebaikan dan pembuat kejahatan akan mendapatkann kejahatan pula. Taburlah olehmu biji benih dan engkau pulalah yang akan merasakan buah-buah daripadanya”.

Dengan memahami bahwa nasib kita adalah rancangan dari perbuatan kita sendiri, maka ketika ada penderitaan, kita tidak menyalahkan pihak luar, kita tidak menjadi membenci, kita tidak menjadi marah dan dendam. Apapun keadaan hidup kita saat ini, pemahaman akan hukum kamma-vipāka akan menjadi pedoman terpenting kita. Yang sedang terpuruk menjadi paham untuk terus berbuat baik agar asinnya kehidupan menjadi berkurang oleh air kebajikan, yang sedang membenci dapat menjadi sembuh luka amarahnya karena menyadari bahwa diri sendirilah sebab utama penderitaan dan yang telah bahagia menjadi penuh rasa syukur dan pengertian bahwa kebahagiaan ini persis adalah usaha diri sendiri yang selayaknya dikembangkan dan dipertahankan. Kebahagiaan di dunia ini amat singkat, menutup artikel ini penulis berpesan bahwa kebahagiaan Dhamma adalah yang tertinggi. Semoga semua makhluk hidup berbahagia.